Kepala plontos

"Ayo ikut aku!!" Suara bentakan itu mengejutkan Mela, ditambah dengan genggaman erat di lengannya.
"Aduh, sakiiit" Mela merintih.
"Kamu ngapain disini sama cowo lain begini?!" Bentakan itu kembali terdengar.
"Maaf, gue Feri. Gue temen lamanya Mela. Tadi kita cuma nggak sengaja ketemu, terus jadi ngobrol." Lelaki yang membangkitkan amarah Dito baru saja memberi penjelasan.
"Halah! Ayo kamu ikut aku pulang!!" Dito menarik Mela dan memaksanya untuk mengikuti langkah Dito menuju parkiran. Dan dengan kasar memaksa Mela masuk ke dalam mobil.

"PLAAKKK!!!" Satu tamparan mendarat di pipi Mela. "Kamu ini apa-apaan sih? Aku paling nggak suka kalo kamu nggak jujur sama aku! Kamu boleh ketemu siapapun temen kamu, tapi bilang dulu sama aku! Kabarin aku!" Wajah Dito memerah tanda amarahnya sudah tan terbendung. Ia segera tancap gas, mobilnya pun melaju dengan kencang.

Rupanya Dito memboyong Mela ke rumahnya. Rumah Dito kosong, karena mbak pembantu rumah tangganya sudah pulang siang hari. Dito terus menggenggam lengan Mela. Kali ini ia menghentikan langkahnya, dan menyuruh Mela duduk di kursi taman belakang rumah. "Kamu diam disini!"

Beberapa saat kemudian dito kembali dengan membawa gunting.
"Kamu mau ngapain sayang? Aku minta maaf. Aku ngga bermaksud bohongin kamu. Tadi baterai aku low, aku nggak bisa hubungi kamu." Mela mencoba menjelaskan. "Kami hanya teman lama, tadi kebetulan ketemu pas aku mau beli makanan."
"Aku ngga peduli alasan-alasan kamu! Kamu itu nggak menghargai aku namanya! Sudah berapa kali aku bilang? Aku mau kamu jujur!" Dito tak mau mempedulikan penjelasan Mela. "Sudah, kamu diam. Kamu paham kan kalau perbuatanmu ini pasti ada konsekuensinya?!"
Mela hanya mengangguk sambil menahan rasa takut.
"Ini konsekuensi yang harus kamu terima. Biar kamu nggak kegenitan lagi!" Dito menegaskan kepada Mela, sambil menjambak rambut mela yang panjangnya sebahu. Dan..... KRESSSS! Gunting yang telah disiapkan pun mulai menari-nari diatas kepala Mela.
"Ampun sayang, ampun.... Jangan lakukan ini. Aku minta maaf..." Mela yang menyadari rambutnya mulai berguguran kini panik.
"Diam. Ini pelajaran untuk kamu. Dengan begini kamu nggak akan kegenitan bin kecentilan." Dito tak mempedulikan Mela yang mulai menangis. Malah tangannya asyik memainkan guntik yang tengah mengeksekusi rambut Mela. Dipotongnya rambut kekasihnya itu dan disisakan tipis mendekati kulit kepala. Emosi rupanya membangkitkan semangat di tangannya sehingga bekerja sangat cepat. Kini bagian kanan kepala Mela telah habis cepak.
"Ampun sayang...." Mela terus merintih meminta ampun, meskipun ia tahu itu tidak akan membuahkan hasil. 
Gunting sadis itu terus membabat habis rambut Mela. Menyisakan beberapa mili saja.

Mela masih menangis, kepalanya sudah rata cepak. Rambut-rambutnya kini telah berpindah di lantai, tak lagi menghiasi kepalanya. Dito meninggalkannya, masuk ke dalam ruang tengah rumahnya. Sementara Mela masih terhanyut di dalam kesedihan atas kehilangan seluruh rambutnya.

Tiba-tiba saja Dito kembali menghampiri Mela, dan membuayarkan lamunannya. Dito membuka sebuah botol yang ternyata berisi krim cukur. Ia menuangkan krim ke tangan kanannya. Dan mulai mengoleskannya ke kepala Mela. "Diem ya, jangan bergerak."

"Sudah sayang, cukup... Cukup hukumannya. Aku menyesal, aku minta maaf sayang..." Mela masih menangis dan memohon untuk berhenti menghukumnya.

"Tanggung. Aku mau kerik kepala kamu sekalian." Dito kembali tak mempedulikan tangisan kekasihnya. Tangannya mengoleskan krim dengan rata ke seluruh permukaan kepala Mela. Kemudian pisau cukur mulai bergerak diatas kepala Mela. Mengerik rambut-rambut yang masih tersisa beberapa mili saja. Mela menahan geli di kepalanya yang tergesek-gesek oleh pisau cukur. Dito menghabisi rambut kekasihnya tanpa ampun, benar-benar licin tak tersisa. Dito cukup piawai mengerik rambut-rambut yang tersisa. Tidak dibiarkannya sehelaipun rambut terlihat di kepala Mela. 

Dito menarik lagi tangan Mela dan menggiringnya masuk ke dalam kamar mandi.
"Nunduk!" Perintah Dito. Mela pun mengikuti perintahnya. 
Diti menyalakan shower, dan mengarahkannya ke kepala Mela, sambil tangan kanannya mengusap-usap kepala kekasihnya yang kini licin tak berambut.
Seusai dibilas, Dito mengelap kepala Mela menggunakan handuk kecil.
"Jangan diulangi lagi perbuatanmu." Tiba-tiba suara Dito lirih.
"Iya, sayang. Aku nggak akan mengulanginya lagi." Mela langsung menjawab dengan sigap. 
"Maafkan aku memberikan hukuman seperti ini. Tapi aku nggak mau kehilangan kamu, aku nggak mau ada orang lain di hati kamu. Dengan begini, cuma aku lelaki yang cinta kamu, dan jadi pasanganmu. Kamu tetep cantik dengan kepala plontos."

Pixie cut demi Benny

"Mey, rambut kamu udah panjang nih. Udah menyentuh bahu." Beny memegang-megang ujung rambut Meyta yang sudah menyentuh bahunya.
"Iya Ben. Sudah mulai panjang, hehehe" Meyta tersenyum sambil meminum jus alpukat yang baru saja diantarkan oleh pelayan cafe ke meja mereka berdua.
"Kok ketawa aja kamu? Abis ini kamu nggak ada acara kan?" Benny memastikan waktu luang kekasihnya.
"Yaa abisnya gimana?hehehe. Enggak kok, aku free aja. Kita mau kemana nih abis ini?"
"Wah kebetulan banget. Kita ke salon ya." Ajak Benny.
"Loh? Ngapain?" Meyta masih bingung.
"Ya motong rambut kamu dong, Mey. Kan perjanjiannya apa hayoo? Kamu lupa ya?" 
"Hhhmmm...." Meyta menghela nafas panjang, "Iya,iyaa... Rambut aku panjangnya nggak boleh melebihi bahu."
"Nah! Tuh kamu inget! Jadi sekarang udah waktunya kamu potong rambut yaa..."
"Iya,iya. Tapi jangan terlalu pendek ya, Ben. Dipendekin dikit aja, kan yang penting nggak melebihi bahu." Meyta merayu Benny.
"Udah, tenang ya. Aku yang tentuin modelnya. Nih, kamu nanti potong kayak gini rambutnya!" Benny menunjukkan gambar di handphone nya, sorang wanita berambut pirang dengan model rambut pixie cut.

Meyta kaget dan menolak permintaan Benny. Ia bersikeras untuk tidak mau memotong rambutnya terlalu pendek. Sejujurnya Meyta bosan dengan rambut pendek, namun apa daya. Ia sadar betul kalau kekasihnya sangat mengagumi wanita berambut pendek, apalagi yang ekstrim.

Seusai makan siang, Benny segera memboyong Meyta untuk ke tempat tujuan berikutnya, yaitu salon. Salon kali ini letaknya di kompleks ruko yang ada disamping mall. Hari ini jalanan cukup lengang, jadi semakin cepat waktu menuju pemotongan rambut Meyta. Benny terlihat sudah tidak sabar.
"Ayo Mey, sudah sampai."
"Tapi aku nggak mau kalau dipotong kayak model yang tadi kamu tunjukin" Meyta masih berusaha bernegosiasi dengan Benny.
"Mey, kamu pasti cantik kok kalau dipotong pendek kayak gitu." Rayuan Benny tak kalah adu.
"Ya tapi aku nggak mau, Ben. Please, dirapihin aja yaaa?"
"ENNGAK. Pokoknya kamu harus mau potong pendek model yang tadi aku tunjukkin ke kamu. Justru model itu lebih rapih, percaya sama aku! Udah ayo turun."

Mereka berdua turun dari mobil, dan memasuki salon. Kebetulan pula hari ini salon sepi. Mungkin karena ini hari biasa dan masih siang. Mbak salonnya ramah sekali, cantik-cantik pula. Segera Benny menjelaskan bahwa pacarnya ingin potong rambut. Dengan cekatan Meyta langsung dikeramas. Setelah dikeramas, hair stylish nya menghampiri Meyta yang duduknya di pojok.
"Mau dipotong model apa ini?" Tanyanya ramah sekali.
"Hmmm... Dipotong model ini, Mas." Benny menjawab sambil menunjukkan gambar wanita yang tadi telah lebih dulu ia tunjukkan ke Meyta. 
"Wah, pendek juga ya. Yakin nih?" Stylish ini masih berusaha meyakinkan.
"Jangan deh, Mas. Dirapihin aja sedikit." Kali ini Meyta yang lebih dulu menjawab.
"Nggak, Mas. Tetep dipotong kayak gini aja." Ujar Benny yakin. "Meyta sayang, kamu nurut sama aku ya" kemudian Benny kembali meyakinkan Meyta.

Akhirnya Meyta hanya bisa pasrah. Mas stylish nya langsung bekerja dengan cepat. Memilah-milah rambut Meyta. Dan mulai memainkan gunting andalannya. Pertama-tama bagian belakang. Ia mengambil ancang-ancang, dan memotong rambut Meyta disisakan sebatas leher. Kemudian meratakan bagian-bagian yang masih miring. Cepat sekali gerakan tangannya. Benny sampai tak berkedip menyaksikan eksekusi rambut pacarnya ini. Kemudian dengan cekatan, Mas stylish pindah ke bagian kiri, memangkas kembali rambut Meyta. Dalam sekejap rambut-rambutnya kembali berguguran. Semakin cepat gerakan tangan si Mas, memangkas rambut-rambut Meyta tanpa ampun. Benny semakin bersemangat, Mas ini seperti paham kalau Benny sangat menikmati helai demi helai rambut Meyta yang berjatuhan. Dalam sekejap, Mas stylish kembali berpindah posisi, kali ini ke samping kanan. Ia membuat bagian kanan sama panjang dengan bagian kiri. Dimana panjangnya hanya sebatas pipi Meyta. Sungguh eksekusi yang paling sigap dan paling cepat selama ini. Sebelumnya tidak pernah Benny menyaksikan yang seperti ini saat melihat eksekusi pemotongan rambut rutin yang wajib dilakukan oleh Meyta.
Mas stylish ini berjalan dan kembali dengan menggenggam clipper, menyalakannya, dan....
"Nunduk dulu ya, Mbak. Jangan gerak." Ia memberi aba-aba.
"Loh? Mau diapain mas?" Meyta mulai panik.
"Tenang aja, Mbak. Cuma mau dirapihin belakangnya agak ditipisin gitu." Ia menjelaskan.
Meyta menuruti aba-aba. Kepalanya terdorong saat clipper sedang berjalan di kepalanya. Berjalan dari tengkuk dan berhenti di tengah, begitu seterusnya bagian belakang kepala Meyta hingga rata. Meyta menahan rasa geli serta takutnya. Benny pun menyadari itu. Meskipun ini bukan kali pertama rambut  gadis kesayangannya ini dieksekusi dengan menggunakan clipper.

"Nah! Sudah selesai..." 


Benny dan Meyta meninggalkan salon. Benny tampak bahagia sekali. Tak henti-henti ia memuji kecantikan Meyta dengan rambut barunya. Sementara Meyta hanya bisa tersenyum sambil tak percaya rambutnya dibondol lagi. Mungkin memang rambut panjang hanyalah angan-angan bagi Meyta. Benny tak akan mengizinkannya memanjangkan rambut.
Tiba-tiba saja mobil berhenti.
"Kenapa berhenti, Ben?" Tanya Meyta.
Benny tak menjawab, ia hanya membukakan pintu Meyta, dan memintanya turun.
"Ada yang lupa, Mey. Poninya belum dipotong nih... Bagusan pakai poni."
Betapa terkejutnya Meyta saat melihat bahwa yang ada dihadapannya saat ini adalah barbershop. Ya, tempat pangkas rambut yang isinya kebanyakan lelaki. Benny segera menarik Meyta masuk. Sebentar ia menyapa tukang pangkas rambut.
"Mas, ini pacar saya tolong dipotong poninya ya. Bisa kan?"
"Oh, bisa. Bisa, Mas"

Tukang pangkas ini mengambil gunting dan sisir, serta mempersilahkan Meyta duduk di bangku eksekusi kedua untuk hari ini. Meyta hanya bisa pasrah mengikuti perintah dan kemauan Benny.

"Dipotong gimana nih poninya?"
"Poni samping ke kanan, tapi jangan bagian terpanjangnya sampai alis saja" Benny langsung menjelaskan.
Gunting kembali membabat rambut Meyta, meskipun kini hanya poni. Sebenarnya Meyta merasa terlalu pendek dengan poni yang sebatas alis saja. Namun apalah daya, Benny selalu menang untuk urusan ini. Toh, Meyta telah berjanji menuruti perintah Benny untuk rutinitas potong rambut.
Hanya membutuhkan waktu lima menit, poni Meyta sudah rapih sesuai keinginan Benny. Benny melihat wajah Meyta dari cermin. Karena ia berdori di belakang Meyta. Seperti memikirkan sesuatu. 

"Mas, ini bagian jambangnya bisa dicukur aja mas? Jadi sisanya disini, bagian ini nya jadi bersih gitu" Benny menjelaskan keinginannya. 
"Ben, sudah dong. Jangan..." Meyta merintih memohon. Meskipun ia tahu itu tak akan membuahkan hasil.
"Sudah Mas, mengerti kan?" Benny menegaskan.
"Oke boss, beres!" Mas tukang pangkas mengambil clipper, "Mbaknya jangan gerak yaa.." Dan clipper mulai menyentuh kepala Meyta untuk kedua kalinya dalam hari ini. Digerakkannya clipper itu dari ujung bawah jambang, sampai habis. Diulang-ulang dengan jalur yang sama, hingga bagian itu bersih, botak licin. Mas tukang pangkas melakukannya pada kedua bagian jambang.

Kini terlihat gadis cantik dengan rambut model pixie, poni samping yang sangat pendek, dan tanpa jambang. Model yang cukup ekstrim yang pernah dilakukan Meyta demi Benny, kekasihnya. 

"Meyta sayang, terimakasih ya kamu mau nurutin aku. Sumpah! Kamu cantiiiik banget, lebih fresh dan hot! Nantu kalo udah mulai panjang kan pasti jelek nggak beraruran, nah kita coba model rambut yang lebih ekstrim lagi ya sayag!" Benny mencium pipi Meyta dan memeluknya erat.

Pengorbananku

Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagi Devi.

"NAH! Sampai." Jo turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Devi. Ia menggandeng tangan Devi yang masih tampak kebingungan. "Kamu rapihin ya rambutnya, kan udah panjang banget sayang. Biar semakin cantik, aku makin sayang!" kemudian Jo mengecup dahi Devi.

Mereka masuk ke sebuah salon & spa yang bertempat di kompleks ruko. Salon & spa yang besar dan terlihat bersih serta mewah. Jo menyuruhk Devi untuk duduk di sofa tunggu. Sementara Jo menghampiri meja resepsionis yang letaknya agak jauh dari tempat Devi duduk. Setelah Jo mengobrol dengan Mbak resepsionis, Devi dipanggil untuk mengikuti Mbak cantik yang merupakan karyawan salon.

"Sayang, ini aku ngerapihin doang kan?" Devi berbisik.
"Iya sayang, kamu santai aja yaa..."

Setelah rambut Devi dicuci, Mbak cantik yang ternyata bernama Nadia mempersilahkan Devi untuk duduk di kursi eksekusi. Devi menatap wajahnya di cermin, Namun ditengah-tengah pandangannya, tiba-tiba Mbak Nadia memutar kursi eksekusi sehingga kini yang ada di hadapan Devi hanyalah tembok dengan wallpaper bunga dan ornamen. Badan Devi telah dibaluti handuk dan cap. Mbak Nadia mengengok ke arah Jo, seketika Jo menganggukkan kepalanya.

Mbak Nadia menyisir dan membelah rambut Devi menjadi beberapa bagian, kemudian menjepitnya. 
"Mbak, dirapihin aja ya layernya, 3 cm aja mbak motongnya" Devi memberi aba-aba kepada Mbak Nadia. Namun rupanya Mbak Nadia telah diberi aba-aba terlebih dahulu oleh Jo, dan terpaksa harus melakukannya.

Mbak Nadia mulai menggunting rambut bagian belakang. Disisakannya rambut Devi hanya sebahu saja. Jo tetap duduk disamping Devi sambil mematut-matut pekerjaan Mbak Nadia. Devi belum menyadari apa yang terjadi pada rambutnya, bahkan ketika rambut bagian sampingnya dipotong. Menurut perkiraan Devi bagian depan kiri dan kanan memang jatuhnya sebahu. Karena ia meminta model layernya dirapihkan 3 cm. Devi asyik bermain game di ipadnya, sementara Jo juga asyik memperhatikan setiap potongan rambut Devi yang jatuh ke lantai.

"Nah, sudah selesai." Mbak Devi telah menyelesaikan pemotongan rambut di balik sebuah misi tersebut. Ia memutar kursi eksekusi kembali seperti semula menghadap ke cermin.

"LOH??? Kok pendek rata begini mbak? Kan tadi saya bilang dirapihin aja layernya?!" Devi terkejut Dan sedikit ngomel.
"Maaf, mbak. Saya hanya melakukan perintah dari Mas ini. Maaf mbak..." Mbak Nadia terlihat ketakutan.
"Iya sayang, aku yang minta kok. Mbak, ini model bob nya masih kurang pendek. Tolong dipendekin lagi  seleher aja mbak." Jo mengutarakan keinginannya.
"Nggak! Kamu apaan sih sayang, aku ngga mau. Udah cukup segini aja." Devi memberontak.
"Kamu diem ya, nurut sama aku sayang! Percaya deh kamu akan sangat cantik dengan rambut pendek seperti yang aku mau. Udah, mbak! Lakukan saja apa yang aku bilang tadi."

Mbak Nadia mulai memotong kembali rambut Devi dari sebahi menjadi seleher. Seperti tadi, dimulai dari bagian belakang. Helai demi helai berjatuhan di lantai. Mbak Nadia nampak cekatan membuat model bob pendek untuk rambut Devi yang sedang dieksekusi ini. Sebentar saja rambut Devi sudah sempurna pendeknya, seleher yang setara dengan dagunya.


"Oh,iya mbak! Belakangnya yang bagian dalam di cukur habis aja. Tapi luarnya jangan, jadi botaknya masih bisa ketutup sama rambut luarnya." Jo kembali memberi perintah.
Mata Devi mulai berkaca-kaca. Ia ingin memberontak, tapi dirinya masih menghargai Jo, ia tak ingin membuat keributan yang memalukan di dalam salon.

Mbak Nadia menpit rambut belakang bagian luar, mengambil clipper. Dan.... Tersengar suara dengungan khas clipper yang siap menempel di kulit kepala Devi.
"Siap ya mbak? Jangan bergerak ya.." Mbak Nadia mengingatkan.
Devi hanya diam dan mulai menitikan airmata, seraya clipper yang mulai menyentuh tengkuknya bergerak keatas, kemudian pindah ke sisi lain, dan bergerak lagi keatas, begitu seterusnya berulang-ulang. Dirasakannya getaran yang membuatnya geli bermain-main di kepalanya. Lima menit saja, Bagian belakang sudah gundul.
"Mbak coba tolong di kerik ya botaknya,biar bener-bener licin."

Mbak Nadia mengambil foam dan pisau cukur. Kemudian tiba-tiba saja Jo merampasnya karena ia ingin dirinya saja yang mengerik bagian botak yang ada di kepala kekasihnya.

"Diem ya sayang, jangan bergerak. Aku mau kerik bagian ini dulu, diem ya.." Jo mengingatkan kekasihnya agar tak bergerak.
Jo mengoleskan cream cukur di bagian yang akan ia kerik. Kemudian langsung mengeriknya dengan pisau cukur. Dengan sangat telaten, Jo membabat habis bagian belakang kepala Devi. Kini rambut botak yang tadi masih tersisa beberapa mili, sudah habis bersih dan licin. Benar-benar licin.

Setelah puas Jo mengeksekusi rambut Devi, Mbak Nadia membuka jepitan yang memisahkan rambut belakang bagian luar. Lalu menge - blow rambut baru Devi. Begitu di blow, rambutnya jadi naik sedikit, kira-kira 1cm. Dan mebuat bagian plontosnya terlihat sedikit.

Jo membayar tagihannya, kemudian menghapiri Devi dan merangkulnya. Mereka segera masuk ke dalam mobil. Jo tak henti-henti memandangi Devi yang kini telah menjadi wanita idolanya.
"Makasih ya sayang, kamu bersedia melakukan ini untuk aku. Aku sayaang banget sama kamu. Kamu cantik sekali sayang." Jo mengecup dahi Devi dengan lembut.
"Iya sayang, tapi lihat nih bagian belakannya kelihatan botak huhuhu" Devi memegangi bagian belakang kepalanya yang botak.
 "Nggak apa-apa sayang, kamu kelihatan sangat cantik kok sekarang. Aku suka banget, pokoknya selama masih terlihat, kamu harus rutin aja ngerik bagian botaknya, biar nggak terlihat aneh. Nanti aku kerikin sayang, tenang saja ya"
Jo mengelus-elus rambut baru Devi, dan jemarinya berpindah ke bagian belakang. Meraba kulit kepala Devi yang kinclong habis digunduli.
"Ahhh... Geli sayang, jangan!" Devi meronta.
"Ssssttt.... Diem, sayang! Aku mau pegang, enak." Jo mencoba membujuk.
"Udah sayaaang, geli!"
"Uuuu.... sayang, tahan ya. Tahan, sayang.." Jo tak memperdulikan kekasihnya yang kegelian, ia terus mengelus-elus bagian botak di kepala Devi.
 "Mulai sekarang kamu rambutnya kayak gini aja ya, sayang. Jangan dipanjang-panjangin lagi. Model ini udah pas banget buat kamu."
"Ihhh mana bisa begitu sayang" Devi protes.
"Bisa dong sayang. Panjang dikit-potong-panjang dikit-potong. Tumbuh dikit-kerik-tumbuh dikit-kerik. Gitu sayang. Kamu mau kan?" Jo menjelaskan permintaan paksaannya.
"Hhhh... Iya iya sayang. Aku mau. Apapun untukmu selagi aku mampu, aku bersedia."

Ini pengorbananku. Setahun kemarin Jo sudah membiarkanku memanjangkan rambut. Dan kini aku harus kembali ke rutinitas dulu, dimana dalam sebulan aku bisa dibawa ke salon dua kali untuk potong rambut. Dan modelnya bukan aku yang menentukan, melainkan Jo kekasihku. Aku harus diam dan pasrah, karena ini janjiku. Untuk memenuhi segala hasratnya untuk rambutku. Mungkin beberapa hari lagi bagian botak di rambutku akan mulai tumbuh, dan beberapa hari sekali pasti dia akan mengerik rambutku secara paksa, tak ada negosiasi. Ya... tak apa lah, toh Jo sudah berkehendak. Nanti saat kami menikah, hal pertama yang akan dia lakukan saat malam pertama adalah: menggunduli seluruh rambutku dan mengeriknya hingga licin, dengan cara yang tidak aku duga. Entah dengan cara apa. Jadi hari ini adalah hari sedikit pembelajaran untukku.

Hardcore Haircut

"Kamu bener sayang dan cinta aku kan?" tiba-tiba saja pertanyaan itu terlontar dari mulut Rio.
"Iyalah Rio. Kok kamu nanyanya begitu sih sayang?" Feny terkejut.
"Ya, ngga papa sayang. Aku cuma tanya aja kok." Rio tersenyum.
"Aku serius sama kamu, kenapa kamu meragukan aku?"
"Eh aku nggak meragukan kok sayangkuuu. Ya sudah, kalo kamu serius, aku boleh minta satu permintaan yang harus kamu penuhin?" Rio menatap mata Feny dalam-dalam, sambil menggenggam tangannya.
"Apa itu permintaanmu?" Feny kebingungan.
"Sebenarnya kamu pasti mampu kok sayang buat menuhin permintaanku."
"Ya sudah, apapun itu kalo aku mampu ya aku lakukan demi kamu. Kan biasanya juga kamu nurutin apa yang aku mau. Hehehe" Feny tersenyum. Senyumnya manis sekali.

Mendengar jawaban lampu hijau dari kekasihnya, Rio bangun dari sofa dan menarik tangan Feny dengan semangat. Rio membawa Feny masuk ke kamar.
"Kamu duduk disitu ya, relax aja sayang. I have something special. Surprise for you."
Feny pun mematuhi perintah sang boss, ia duduk di kursi dekat lemari. Rio keluar sebentar, dan kembali ke kamar dengan membawa tali.

Rio menghampiri Feny, "Maaf ya sayaaang. Sesekali kita butuh sesuatu yang hardcore! Have fun honey!" kemudian Rio memegang erat kedua tangan Feny. Mendudukkan Feny di lantai. Dan mengikat tangan Feny di kaki-kaki meja jati yang ada di sudut kamar. Feny kaget bukan main. Ia tak mengerti apa yang akan dilakukan Rio kepadanya. "Sayang, kamu mau ngapain?"
"Tenang sayang, relax dulu" Rio hanya tersenyum, kemudian berjalan dan mengambil botol besar berisi air minum. Rio kembali mendekati Feny, membuka kemeja pink transparan yang dikenakan oleh kekasihnya itu. Kini badan Feny terbalut tanktop hitam. Dengan sigap Rio menuangkan air di botol ke kepala Feny. Sontak Feny menjerit kedinginan "Ahhh.... Dingin! Kamu ngapain sih?!" Feny mulai kesal. Rio menampar pelan pipi kanan Feny, dan disusul pipi kiri. Feny hanya terdiam.
Rio meneruskan permainannya, ia mengguyuri kepala Feny sampai air yang ada di botolnya benar-benar habis.

Rio kemudian menyisiri rambut Feny yang panjang sepinggang, hitam dan lebat. Di sela aktivitasnya, Rio menenangkan Feny. "Sayang, kamu jangan tegang. Aku nggak mau jahatin kamu kok. Aku cuma mau kita melakukan sesuatu yang berbeda. Biasanya kan kita manja-manjaan. Sekarang aku mau sesuatu yang hardcore! Tapi aku nggak akan macem-macem kok, kamu tenang ya. Sekarang tutup mata kaamu!"

Rio menggenggam rambut Feny, dan meraih gunting yang sudah ia siapkan di kantong kemejanya.
"KRESS... KRESSS... KRESS..." Rambut Feny berjatuhan. Feny tersentak dan melotot. "Sayang! Jangan! Jangan!"
Rio tidak senang dengan respon Feny yang membentak dirinya. Sontak Rio menjambak Feny dan menyiram kepala Feny dengan air yang ada di botol kedua. "Ah.... Dingin sayang... Dingin." Feny meronta tak berdaya karena kedua tangannya terikat kuat di kaki meja.
"Kamu tenang dong sayang. Aku cuma mau motong rambut kamu. Kamu bersedia kan sayang? Kamu sayang aku kan?" Mendengar jawaban itu Feny hanya bisa pasrah dan diam.
Rio kembali memilah-milah rambut Feny, dan memotong bagian belakangnya hingga tinggal sebahu. Helai demi helai rambut Feny bejatuhan. Potongan rambut Feny kini memenuhi lantai sekitar ia duduk. Selesai bagian belakang, Rio melanjutkan eksekusi rambut bagian samping. Bagian samping kiri dan kanan ia ratakan sebahu seperti bagian belakang. Feny kembali meronta, "Sayang... Udah, sayang! Ampun sayang, ampun. Udah... Jangan dipotong lagi aku mohon..."

Namun Rio tak mempedulikannya, ia sangat menikmati permainannya. Suara gunting yang mengadu dengan rambut Feny, mampu membuat Rio merasa puas. Helai demi helai rambut kembali berjatuhan. Feny yang menjadi korban hanya bisa menangis tersedu-sedu sepanjang rambutnya di eksekusi oleh kekasihnya sendiri. Melihat Feny yang terus menangis, Rio mencium kening Feny sambil menepuk-nepuk bahunya. Rio berdiri dan kembali membawa botol berisi air. Ia menghampiri Feny, duduk di sebelahnya, kemudian memegang kepala Feny dan menjatuhkannya di lengannya, seolah lengannya menopang tengkuk Feny. "Kamu relax ya sayangkuuu, maniskuuu..." lalu tangan kiri Rio meraih botol berisi air, dan untuk ketiga kalinya menyiram kepala Feny. Sedang tangan kirinya meremas-remas rambut dan tungkak Feny.

Feny gelagapan karena menahan dingin setelah tiga kali disirami air, sedang dirinya berada di ruangan ber AC. "Ssss...Ssss...Sssayang... Dingin, sayang, ampun...."
 "PLAKK! PLAKK!!" Lagi-lagi Rio menampar pipi Feni kiri-kanan.
Rio mengambil kembali guntingnya. Menyisir rambut Feny bagian depan. Dan KRESS KRESS! Ia memotongnya tepat di garis alis. Membuat poni rata. Feny masih menangis sesenggukan.

Rio berdiri dan meninggalkan Feny.

Lima belas menit kemudian Rio melepaskan tali yang mengikat kedua tangan Feny. Kemudian membawa Feny masuk ke kamar mandi. Tanpa melepaskan baju Feny, Rio menggiring kekasihnya masuk ke bathub berisi air hangat. Rio menciumi pipi dan dahi Feny, "Makasih ya sayang, kamu sudah membuktikan betapa kamu mencitaiku. Love you honey!"